Tanya jawab

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

fatwa ulama tentang al-ma'tsurat karya hasan al-banna

FATWA ULAMA TENTANG KITAB "AL-MA'TSUROT" MILIK HASAN AL-BANNA (PENDIRI IKHWANUL MUSLIMIN) Pertanyaan : "Apa hukum dzikir berjama'ah dan kitab Al-Ma'tsurot karya Syaikh Hasan Al-Banna, dan apa komentar anda terhadap kitab Al-Ma'tsurot (tersebut) ?" Syaikh Muqbil bin Hadiy Al-Wadi'iy -rohimahulloh- menjawab : "Dzikir berjama'ah tidak shohih dari Nabi -shollallohu 'alaihi wasallam- dan para sahabat. Ini yang pertama. Adapun perkara berikutnya, yaitu "AL-MA'TSUROT" adalah nama kitab kumpulan dzikir. Sebagian dzikir yang ada dalam kitab tersebut dalilnya shohih, akan tetapi tidak tepat jika dibaca setelah sholat. Sebagian dzikir dalilnya lemah, dan yang lainnya tidak ada asalnya. Mengagumkan aku ucapan Syaikh Al-Albaniy -hafidhohullohu ta’ala- ketika beliau ditanya : "Wahai Syaikh, apakah tidak sebaiknya anda men-tahqiq (meniliti dan memberi komentar) kitab "Al-Ma'tsurot" milik Hasan Al-Banna?" Beliau menjawab : "Seandainya aku men-tahqiq-nya, niscaya aku sarankan agar kitab tersebut DIMUSNAHKAN saja." Perkaranya sebagaimana beliau katakan : seandainya kitab tersebut ditahqiq, niscaya beliau sarankan agar kitab tersebut dilenyapkan. Karena dari dzikir-dzikir yang ada dalam kitab tersebut, sebagiannya shohih namun salah tempat, (karena) dzikir-dzikir setelah sholat yang kita butuhkan telah dicontohkan oleh Nabi -shollallohu 'alaihi wasallam- seperti sabda beliau : "Barangsiapa yang bertasbih (mensucikan) Alloh, bertakbir (mengagungkan)-Nya serta bertahlil sebanyak 33 kali, diampunilah dosa-dosanya meski sebanyak buih di lautan." Rosul -shollallohu 'alaihi wasallam- bersabda : "Barangsiapa yang membaca ayat kursi setiap kali selesai sholat, tidak ada yang menghalanginya masuk surga kecuali kematian." Beliau -shollallohu 'alaihi wasallam- bersabda : "Wahai Mu'adz, sesungguhnya aku mencintaimu, maka janganlah sekali-kali kamu meninggalkan do'a setiap kali selesai sholat : (( اللهم أعنّي على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك )) Beliau juga bersabda tentang do'a : (( لا إله إلا الله وحده لا شريك الله، له الملك وله الحمد وهو على كل شيئ قدير )) yang dibaca 10 kali setelah sholat maghrib dan setelah sholat shubuh, beliau menyebutkan pahalanya : "Seakan-akan dia membebaskan budak begini...dan begini..., aku tidak sebutkan lafadz haditsnya (secara lengkap). Maksudnya adalah, bahwa dzikir-dzikir setelah sholat telah mencukupi. Bahkan boleh jadi kamu tidak mampu (lalai) dari mengamalkannya. Wallohulmusta'aan." Sumber : Ghoorotul-asyrithoh 2/283-284). ما حكم الذكر الجماعي ، وخاصة المأثورات للشيخ حسن البنا؟ نص السؤال: ما حكم الذكر الجماعي وخاصة المأثورات للشيخ حسن البنا وما تعليقكم على كتاب المأثورات ؟ نص الإجابة: الذكر الجماعي لم يثبت عن النبي - صلى الله عليه وعلى آله وسلم - والصحابة ، هذا أمر . أمر آخر مسألة <. المأثورات > عبارة عن أذكار ، بعضها أذكار صحيحة ولكن ليس موضعها ذلك المكان - أي عقب الصلوات - ، وبعضها أذكار ضعيفة ، وبعضها أذكار لا أصل لها . وتعجبني كلمة الشيخ الألباني - حفظه الله تعالى - قيل له : يا شيخ ألا تحقق كتاب < المأثورات > لحسن البناء ؟ ، قال : لو حققتها لحكمت عليها بالإعدام . والأمر كما يقول : أنه لو حُققت لحكم عليها بالإعدام ، لأن صحيحها الذكر ليس بموضعه ، عقب الصلوات أذكار ما نحتاج إلى تلكم ، مثل النبي - صلى الله عليه وعلى آله وسلم - يقول : " من سبح الله وكبره وهلله ثلاث وثلاثين غفرت ذنوبه وإن كانت مثل زبد البحر " . ويقول الرسول - صلى الله عليه وعلى آله وسلم - : " من قرأ آية الكرسي دبر كل صلاة لم يمنعه من دخول الجنة إلا الموت " . ويقول : " يا معاذ إني أحبك ، فلا تدعن دبر كل صلاة أن تقول : اللهم أعني على ذكرك ، وشكرك ، وحسن عبادتك " . ويقول أيضاً في : لا إله إلا الله وحدة لا شريك له ، له الملك ، وله الحمد ، وهو على كل شيئ قدير عشر مرات عقب المغرب ، وعقب الفجر يذكر ثواباً : " كأنما أعتق كذا وكذا " لا أذكر لفظ الحديث . فالقصد أن الأذكار عقب الصلوات كافية ، وربما لا تستطيع أن تأتي بها. والله المستعان . ------------- راجع كتاب : ( غارة الأشرطة 2 / 283 - 284 ) صفحات الشيخ أبي عبدالرحمن مقبل بن هادي الوادعي رحمه الله | ما حكم الذكر الجماعي ، وخاصة المأثورات للشيخ حسن البنا؟ | فتاوى الشيخ مقبل بن هادي الوادعي رحمه الله http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=2450 Ustadz Syamsu Muhajir حفظه الله KEUTAMAAN ILMU, [30.06.16 16:46] 👉 Join Channel : @KEUTAMAANILMU ========================= 🌐 http://darulhijrahalhaq.salafymedia.com ------------------------------ 📮 http://tlgrm.me/KEUTAMAANILMU =========================                                    RAMADHAN 1437 H
9 tahun yang lalu
baca 4 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

ketika ulama' berselisih pendapat dalam masalah fiqih

Apa yang Kita Lakukan Tatkala Para Ulama Berselisih Pendapat di Dalam Masalah Fikih, Apakah Kita Mengambil Pendapat yang Paling Mudah atau Paling Sulit Pertanyaan: Syaikh yang mulia, sehubungan dengan perselisihan pendapat ulama dalam permasalahan fikih, apakah kami mengambil pendapat yang paling paling kerasnya sebagai bentuk berlepas diri dengan (memenuhi) beban syariat, ataukah kami memilih pendapat yang paling mudah dalam rangka mengamalkan hadits yang menyatakan bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم apabila diberi pilihan antara dua perkara, beliau memilih yang paling mudahnya. Jawaban asy-Syaikh Ibnu  .'Utsaimin رحمه الله: Apa pendapatmu apabila ada seseorang sakit dan ada dua dokter yang berselisih pendapat di dalam menanganinya. Salah satunya mengatakan, "Makanlah obat ini." Yang satunya mengatakan, "Yang ini saja." Dokter mana yang diturutinya? Penanya menjawab, "Dokter yang paling bagus ilmu kedokterannya." Syaikh mengatakan, "Benar. Ia akan memilih dokter yang paling tepercaya. Yang paling dipercaya ilmu dan pemahamannya. Demikian pula di dalam permasalahan agama. Apabila ada dua ulama berselisih pendapat, yang engkau yakini lebih dekat kepada kebenaran, ambil pendapatnya, sama saja apakah pendapatnya itu lebih sulit atau lebih mudah (untuk engkau kerjakan). Apabila keduanya sama keadaannya menurutmu, atau engkau tidak tahu, sebagian ulama ada yang mengatakan, "Ambil pendapat yang paling hati-hati, yaitu yang paling kerasnya." Ada yang menyatakan, "Ambil pendapat yang paling mudah." Ada pula ulama yang berpendapat, "Engkau diberi pilihan. Bahkan taruhlah engkau mengamalkan pendapat ulama yang ini pada hari ini dan mengamalkan pendapat ulama satunya pada hari berikutnya, tidak mengapa." Namun yang lebih dekat kepada kebenaran menurutku adalah engkau mengambil pendapat yang paling mudah; kecuali bila kau dapati hatimu cenderung kepada pendapat yang paling keras, ambillah pendapat yang paling keras tersebut. Karena Nabi صلى الله عليه وسلم  bersabda, البر ما اطمأنت إليه النفس واطمأن إليه القلب والإثم ما حاك في نفسك. "Kebaikan itu adalah sesuatu yang jiwa dan kalbumu tenang dengannya, sedangkan dosa itu adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwamu." Sumber: Silsilah Liqà'at al-Bab al-Maftuh no.140 bit.ly/majalahqonitah 📌ماذا نفعل في حالة إختلاف العلماء في الأقوال              الفقهية ، هل نأخذ باﻷسهل أم اﻷشد ؟؟؟                        ...┈•┈••✶✿✶••┈•┈ #الســــــــؤال:- فضيلة الشيخ, في حالة اختلاف العلماء في الأقوال الفقهية، هل نأخذ بالذي يقول الأشد إبراءً للذمة أم نأخذ بالذي يقول بالأسهل عملاً بالحديث (أن الرسول صلى الله عليه وسلم كان إذا خُيِّر بين أمرين، أخذ بأسهلهما) ؟ #الجــــــــواب: أرأيت لو كان إنسان مريضاً واختلف عليه طبيبان، أحدهما قال: خذ هذا العلاج، والثاني قال: خذ هذا العلاج، من يأخذ بقوله؟ الســــائل: بالأقوى في الطب. الشيــــخ: نعم، بالأوثق. الأوثق عنده علمٌ وفهمٌ. هكذا أيضاً المسائل الدينية، إذا اختلف عندك عالمان، فالذي ترى أنه أقرب إلى الصواب خذ به، سواء كان أشد أو أيسر. فإن تساووا عندك أو لا تدري، فمن العلماء من يقول: خذ بالأحوط، وهو الأشد. ومنهم من يقول: خذ بالأيسر. ومنهم من قال: أنت مخير، حتى لو عملت بقول هذا العالم اليوم، وبقول العالم الثاني غداً فلا بأس في ذلك. لكن الأقرب عندي أنك تأخذ بالأيسر، إلاَّ إذا وجدت قلبك يميل إلى القول الأشد فخذ به؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «البر ما اطمأنت إليه النفس، واطمأن إليه القلب، والإثم ما حاك في نفسك». _______________ ✍ #المصــــدر : سلسلة لقاءات الباب المفتوح >        لقاء الباب المفتوح [140]  رابط المقطع الصوتي http://zadgroup.net/bnothemen/upload/ftawamp3/od_140_15.mp3                          ــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ                   ...┈•┈••✶✿✶••┈•┈     •✿●قـــنَاةُ جَــوَامِعُ الفِقْـــهُ المُيَــسْر●✿•     https://telegram.me/jawamiealfaqqihalmaysar                                                                                                                            https://goo.gl/ZjpEH0
9 tahun yang lalu
baca 4 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum mengeluarkan janin yang masih hidup ketika ibunya wafat

HUKUM MENGELUARKAN JANIN YANG MASIH HIDUP KETIKA SANG IBU WAFAT Tanya: Apakah boleh membedah perut wanita yang meninggal untuk mengeluarkan kandungannya yang masih hidup? Dijawab oleh asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah: Hal itu boleh karena adanya maslahat dan tidak adanya mafsadat. Perbuatan ini tidak teranggap mencacati mayat. Sungguh saya pernah ditanya tentang wanita yang meninggal, sementara di perutnya ada janin yang masih hidup. apakah boleh perutnya dibedah dan janinnya dikeluarkan, atau tidak. Jawaban saya, telah diketahui pendapat ash-hab (para ulama mazhab)rahimahumullah. Mereka berpendapat, apabila seorang wanita hamil meninggal, sementara di perutnya ada janin yang masih hidup, haram membedah perutnya. Hendaknya para wanita mengeluarkan janin tersebut dengan obat-obatan dan memasukkan tangan untuk mengambil janin yang diharapkan hidupnya. Apabila hal ini tidak bisa dilakukan, mayat tersebut tidak boleh dikubur sampai janin yang di perutnya tadi meninggal. Apabila sebagian tubuh janin telah keluar dalam keadaan hidup, dilakukan pembedahan untuk mengeluarkan bagian tubuh yang tersisa. Ini pendapat para fuqaha (ahli fikih) yang dibangun di atas pendapat bahwa membedah perut mayat termasuk mencacati mayat. Hukum asalnya adalah haram mencacati mayat, kecuali jika ada maslahat yang kuat dan bisa direalisasikan. Maksudnya, apabila sebagian tubuh janin telah keluar, dilakukan pembedahan untuk mengeluarkan bagian tubuh yang masih di dalam. Sebab, hal itu mengandung maslahat bagi sang bayi. Apabila perut ibunya tidak dibedah, akan menimbulkan mafsadat berupa kematian sang bayi. Penjagaan bagi orang yang masih hidup lebih besar daripada penjagaan bagi orang yang telah mati. Akan tetapi, pada masa belakangan ini, ketika ilmu bedah telah berkembang, pembedahan perut atau anggota tubuh yang lain tidak dianggap sebagai perbuatan mencacati tubuh. Mereka (para ahli bedah) melakukannya kepada orang hidup dengan keridhaannya dan dengan keinginannya untuk menempuh berbagai cara pengobatan. Oleh karena itu, apabila para fuqaha melihat keadaan ini, besar kemungkinan bahwa mereka akan menghukumi bolehnya membedah perut ibu hamil dan mengeluarkan janin yang hidup, khususnya apabila kehamilan telah sempurna, dan dipastikan atau besar kemungkinan bahwa bayi yang dikeluarkan tersebut selamat. Alasan mereka dengan bolehnya mencacati mayat (ketika ada maslahat) menunjukkan hal ini. Termasuk perkara yang menunjukkan bolehnya membedah perut ibu hamil dan mengeluarkan janin yang hidup adalah (kaidah) apabila berbenturan beberapa maslahat dan beberapa mafsadat, didahulukan maslahat yang paling besar dan dilakukan mafsadat yang paling ringan. Sesungguhnya keselamatan perut dari pembedahan adalah maslahat, tetapi keselamatan dan kehidupan anak adalah maslahat yang lebih besar. Demikian juga membedah perut adalah mafsadat, tetapi membiarkan anak yang masih hidup tercekik di perut ibunya hingga meninggal adalah mafsadat yang lebih besar. Jadi, membedah (perut) adalah mafsadat yang lebih ringan. Kemudian, kita kembali, dan kita katakan bahwa membedah perut pada masa ini tidak dianggap sebagai tindakan mencacati tubuh, tidak pula dianggap sebagai mafsadat. Maka dari itu, tidak tersisa sedikit pun alasan yang menghalangi dikeluarkannya bayi tersebut secara keseluruhan. Wallahu a’lam. (Fatawa al-Mar’ah hlm. 213) Sumber: http://bit.ly/1VnCxH2 ـــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ 🔍 مجموعـــــة توزيع الفـــــــوائد قناتنا في برنامـــج [تيليجــــــرام] للإشتراك : افتح الرابط واضغط على إشتراك👇 💾  JOIN bit.ly/ForumBerbagiFaidah [FBF] 🏀  www.alfawaaid.net
9 tahun yang lalu
baca 3 menit

Tag Terkait