Salafy Temanggung
Salafy Temanggung oleh Abu Ubay Afa

khutbah jum’at: sikap pertengahan dalam memuliakan ulama dan bahaya ghuluw

sehari yang lalu
baca 10 menit
Khutbah Jum’at: Sikap Pertengahan Dalam Memuliakan Ulama Dan Bahaya Ghuluw

KHUTBAH PERTAMA

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُوَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

Ma’asyiral Muslimin, Jamaah Jumat yang Dirahmati Allah…

Pertama-tama, marilah kita senantiasa memperbaharui dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Takwa yang sebenar-benarnya, yaitu dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, di atas landasan ilmu, di atas bashirah, bukan di atas kejahilan atau taklid buta.

Agama kita, Islam, adalah agama yang tegak di atas pondasi ilmu. Allah tidak memerintahkan kita beribadah kecuali dengan ilmu. Imam Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahih-nya mencantumkan sebuah bab: “Bab: Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal”. Landasannya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ

“Maka ketahuilah (berilmulah), bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu…” (QS. Muhammad: 19)

Ayat ini memerintahkan kita untuk berilmu terlebih dahulu, bahkan sebelum mengucapkan kalimat Tauhid.

Ma’asyiral Muslimin…

Jika ilmu adalah pondasi agama, maka para pembawa ilmu, yaitu para ulama, para guru, dan para ustadz, adalah pilar-pilar yang menyangga tegaknya agama ini di tengah-tengah umat. Mereka adalah pelita di tengah kegelapan, penunjuk jalan di tengah kesesatan.

Oleh karena itu, manhaj Salafus Shalih—generasi terbaik umat ini—telah meletakkan sebuah kaidah agung: “Memuliakan ulama adalah bagian dari memuliakan agama Allah itu sendiri.”

Bagaimana mungkin kita bisa mengambil ilmu dari seseorang yang kita hinakan di dalam hati kita? Bagaimana mungkin cahaya ilmu bisa masuk ke dalam dada yang penuh kesombongan terhadap gurunya?

Pada khutbah pertama ini, mari kita renungkan betapa tinggi kedudukan ulama dalam pandangan Allah dan Rasul-Nya, serta bagaimana para salaf kita mempraktikkan adab tersebut.

Pertama: Allah subhanahu wa ta’ala Sendiri yang Mengangkat Derajat Ahli Ilmu

Kemuliaan ulama bukanlah kemuliaan yang dibuat-buat oleh manusia. Kemuliaan itu adalah pemberian langsung dari Allah subhanahu wa ta’ala. Allah berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“…Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…(QS. Al-Mujadilah: 11)

Allah juga membedakan dengan jelas antara mereka yang berilmu dan yang tidak:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“…Katakanlah: ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui?'” (QS. Az-Zumar: 9)

Mengapa mereka begitu mulia? Karena merekalah hamba yang paling takut kepada Allah. Ilmu yang benar pasti akan melahirkan khasyyah (rasa takut).

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama…” (QS. Fatir: 28)

Kedua: Ulama adalah Pewaris Para Nabi

Kemuliaan terbesar bagi seorang alim adalah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan gelar “pewaris” kepada mereka. Dalam hadits yang agung, diriwayatkan oleh Abu Ad-Darda radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“…Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Dan para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya, sungguh ia telah mengambil bagian yang sangat besar.” (HR. Tirmidzi no. 2682, Abu Dawud no. 3641. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

Jamaah sekalian, jika para Nabi adalah manusia termulia, maka para pewaris mereka (ulama rabbani) adalah manusia termulia setelah para Nabi. Menghormati mereka berarti menghormati warisan kenabian yang mereka emban.

Ketiga: Menghormati Ulama adalah Ciri Pengikut Sunnah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan adab kepada ulama sebagai barometer keislaman seseorang. Beliau bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak memuliakan yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak orang yang berilmu (ulama) kami.” (HR. Ahmad, 5/323. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5443)

Perhatikan kalimat “wa ya’rif li ‘alimina haqqahu” (dan mengetahui hak ulama kami). Ulama memiliki hak untuk dihormati dan dimuliakan.

Keempat: Praktik Adab Salafus Shalih yang Luhur

Para sahabat dan para ulama telah mencontohkannya:

Lihatlah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Beliau adalah sepupu Nabi, seorang Habrul Ummah (ahli tafsir umat ini). Namun, ketika beliau ingin belajar dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, beliau rela memegang tali kekang unta Zaid dan menuntunnya. Ketika Zaid berkata, “Jangan lakukan ini, wahai sepupu Rasulullah,” Ibnu Abbas menjawab: “Beginilah kami diperintahkan untuk memperlakukan ulama kami.” (Diriwayatkan oleh Al-Hakim, dan disepakati Adz-Dzahabi)

Lihatlah Imam Asy-Syafi’i rahimahullah ketika di hadapan gurunya, Imam Malik rahimahullah. Beliau berkata: “Aku membolak-balik lembaran (kitab) di hadapan Malik dengan sangat lembut dan perlahan, karena segan (haibah) kepadanya, agar beliau tidak sampai mendengar suaranya.”

Ar-Rabi’ bin Sulaiman, murid Imam Syafi’i, berkata: “Demi Allah, aku tidak berani meminum air sedangkan Imam Syafi’i melihatku, karena segan kepadanya.”

Ma’asyiral Muslimin…

Inilah adab para salaf kita. Mereka memuliakan guru, menundukkan pandangan, merendahkan suara, bahkan mencium tangan guru-guru mereka sebagai bentuk ta’dzim (penghormatan) dan mahabbah (kecintaan). Ini adalah akhlak Islam yang luhur, yang menjadi sebab turunnya barakah (keberkahan) ilmu.

Meremehkan ahli ilmu, lancang kepada mereka, apalagi menghina mereka di media sosial, adalah perbuatan jafa’ (kasar dan jauh dari adab) yang dapat menghalangi seseorang dari keberkahan ilmu, wal ‘iyadzu billah.

أَقُولُ قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ لِي وَلَكُمْ، وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ.

KHUTBAH KEDUA

الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيقِهِ وَامْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ تَعْظِيمًا لِشَأْنِهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ الدَّاعِي إِلَى رِضْوَانِهِ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَإِخْوَانِهِ.

Ma’asyiral Muslimin, Jamaah Jumat yang Dimuliakan Allah…

Setelah kita menetapkan pondasi yang kokoh pada khutbah pertama tentang agungnya kedudukan ulama dan wajibnya memuliakan mereka, maka pada khutbah kedua ini, khatib wajib menyampaikan sebuah tanbih (peringatan) yang sangat penting.

Ketahuilah, bahwa Syaithan memiliki dua pintu utama untuk menyesatkan manusia dalam beragama: Pintu Al-Jafa’ (meremehkan dan menjauh) dan pintu Al-Ghuluw (berlebih-lebihan dan melampaui batas).

Jika Syaithan gagal menjerumuskan kita ke dalam pintu Jafa’ dengan cara menghina ulama, ia akan datang dari pintu Ghuluw dengan cara memuliakan mereka secara berlebihan, hingga melampaui batas-batas syariat dan merusak pondasi utama agama ini, yaitu Tauhid.

Islam adalah agama Wasathiyah (pertengahan).

Ma’asyiral Muslimin…

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dengan keras dari sikap Ghuluw. Beliau bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ

“Jauhilah oleh kalian sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama. Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah sikap ghuluw dalam beragama.” (HR. An-Nasa’i no. 3057, Ibnu Majah no. 3029. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Oleh karena itu, adab dan ta’dzim kita kepada para guru dan ulama, harus dibingkai dengan syariat. Tidak boleh melampaui batas.

Apa saja batasan-batasan tersebut dalam perspektif syari’at?

Batasan Pertama: Tidak Ada Ketaatan Mutlak (Taqlid Buta)

Ketaatan kita kepada siapapun—bahkan kepada ulama besar sekalipun—terikat oleh ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq (Sang Pencipta).” (HR. Ahmad 5/66, Shahih)

Para Imam Salaf adalah orang yang paling paham akan hal ini. Mereka menghormati guru mereka, namun mereka melarang keras murid-muridnya untuk taqlid buta.

Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata: “Tidak halal bagi seorang pun mengambil perkataan kami selama ia tidak tahu dari mana kami mengambilnya.”

Imam Malik rahimahullah berkata: “Setiap orang bisa diambil dan ditolak perkataannya, kecuali penghuni kubur ini (sambil menunjuk makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).”

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah, maka ambillah sunnah itu dan tinggalkan perkataanku.”

Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Janganlah engkau taqlid kepadaku, jangan pula taqlid kepada Malik, Syafi’i, atau Tsauri. Tapi ambillah (dalil) dari mana mereka mengambil.”

Inilah adab yang sesungguhnya: memuliakan mereka, sekaligus memuliakan dalil di atas segalanya.

Batasan Kedua: Dilarang Melakukan Perbuatan yang Menyerupai Ibadah

Inilah titik paling rawan dari Ghuluw. Yaitu ketika ta’dzim (penghormatan) berubah menjadi ta’abbud (peribadahan). Batasnya sangat tipis.

Syariat kita telah menutup rapat pintu-pintu yang dapat mengantarkan kepada kesyirikan (Sadd Adz-Dzari’ah). Ada dua perbuatan yang murni hak Allah dan tidak boleh dipalingkan sedikit pun kepada makhluk:

1. Larangan Sujud Kepada Makhluk.

Sujud adalah puncak penghambaan. Ketika Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu kembali dari Syam, beliau bersujud kepada Nabi. Maka Nabi bertanya, “Apa ini, wahai Mu’adz?” Mu’adz menjawab, “Aku datang dari Syam dan mendapati mereka bersujud kepada uskup-uskup mereka, dan aku ingin melakukannya untukmu.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَلَا تَفْعَلُوا، لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ

“Jangan kalian lakukan! Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku akan perintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi no. 1159, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

Jika kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam—makhluk termulia—saja dilarang keras bersujud, maka bagaimana mungkin dibolehkan bersujud kepada seorang guru, kyai, atau ulama, se-shalih apapun beliau? Ini adalah Ghuluw yang nyata dan pintu menuju kesyirikan.

2. Larangan Membungkuk (Menyerupai Rukuk) sebagai Penghormatan.

Beberapa orang mungkin berdalih, “Kami tidak sujud, kami hanya membungkuk.”

Maka ketahuilah, perbuatan membungkukkan badan hingga menyerupai batas rukuk dalam shalat, juga telah dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ؟ قَالَ: ” لَا

“Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, seseorang di antara kami bertemu dengan saudara atau temannya, apakah ia (perlu) membungkukkan badan (yanhani) untuknya?” Beliau menjawab: “Tidak.” (HR. Tirmidzi no. 2728, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

Mencium tangan adalah adab yang dicontohkan (ada riwayat sahabat mencium tangan Nabi), berjabat tangan adalah sunnah. Akan tetapi inqina’ (membungkuk dalam seperti rukuk) dan sujud adalah perbuatan yang dilarang keras, karena ia adalah tasyabbuh (menyerupai) ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Ma’asyiral Muslimin…

Marilah kita menjadi umat yang wasath, umat yang pertengahan.

Kita muliakan para ulama kita, kita cium tangan mereka, kita rendahkan suara di hadapan mereka, kita doakan mereka dalam sujud kita. Ini adalah ADAB dan SUNNAH.

Akan tetapi, kita tidak bersujud kepada mereka, kita tidak membungkuk (rukuk) kepada mereka, dan kita tidak taqlid buta kepada mereka. Karena ini adalah GHULUW dan BID’AH yang dapat merusak Tauhid kita.

Kita cintai ulama, tapi kita lebih mencintai kebenaran (Al-Haq). Kita ambil ilmu dari mereka, namun kita kembalikan segala urusan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Semoga Allah mengampuni kita, merahmati para ulama kita, dan mengumpulkan kita semua di atas agama yang lurus, Aamiin.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُSلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ

اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ، وَلَا تَجْعَلْهُ مُلْتَبِسًا عَلَيْنَا فَنَضِلَّ

اللَّهُمَّ احْفَظْ عُلَمَاءَنَا الرَّبَّانِيِّينَ، وَارْزُقْهُمُ الصِّحَّةَ وَالْعَافِيَةَ، وَاجْزِهِمْ عَنَّا خَيْرَ الْجَزَاءِ

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

عِبَادَ اللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ. فَاذْكُرُوا اللَّهَ الْ

عَظِيمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوهُ عَلَىٰ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ. وَأَقِمِ الصَّلَاةَ