Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah.
Di awal khutbah, khatib berwasiat untuk diri dan jamaah sekalian, marilah kita perbaharui takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Takwa dalam arti sesungguhnya, menjalankan perintah-Nya tanpa keraguan, dan menjauhi larangan-Nya. Sebab kelak di hari kemudian, hanya takwa yang menjadi bekal dan penolong di hadapan-Nya.
Hadirin sidang Jum’at yang kami muliakan..
Setiap kita yang hadir di tempat yang mulia ini, terlahir dari rahim seorang wanita yang penuh pengorbanan, sosok yang kita panggil “Ibu” dengan segenap kemuliaan. Allah titipkan amanah dalam kandungan, sembilan bulan lamanya menanggung beban, dalam keadaan lemah di atas kelemahan. Nyawa yang menjadi taruhannya, saat kita dilahirkan ke alam kehidupan. Siang dan malam dia curahkan tenaga dan waktunya, demi merawat kita dengan penuh kesabaran, seringkali mengorbankan kenyamanan dan segala kepentingan.
Begitu tingginya Allah Ta’ala letakkan derajat seorang ibu, hingga bakti kepadanya menjadi perintah kedua setelah perintah untuk mentauhidkan-Nya. Ini adalah penegasan, betapa kedudukannya begitu agung dan tinggi. Dengarkanlah firman-Nya yang mulia dalam Al-Qur’an:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’.” (QS. Al-Isra’: 23-24).
Perhatikanlah wahai hamba Allah yang mulia, bahkan kata ‘ah’ pun dilarang terucap, sebuah kata yang paling ringan untuk menunjukkan kejengkelan. Jika ‘ah’ saja dilarang, maka membentak dan menyakiti tentu dosanya lebih besar dan akan mendatangkan kemurkaan Allah Ta’ala.
Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah.
Mengapa ibu mendapat tempat yang begitu tinggi dan mulia? Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memberi jawabannya. Ketika seorang sahabat bertanya :
Terjemahan: “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Kemudian ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Kemudian ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Kemudian ayahmu.” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).
Tiga kali nama ‘ibu’ disebut sebelum ayah, menggambarkan betapa tingginya kedudukan ibu di hadapan anaknya.
Hadirin sidang Jum’at yang mulia..
Jika bakti pada ibu adalah gerbang kemuliaan, maka durhaka padanya adalah jurang kehinaan. Dosanya teramat besar dan mengerikan, bahkan disandingkan setelah dosa menyekutukan Allah Ta’ala. Rasulullah telah memberikan peringatan, saat ditanya tentang dosa-dosa terbesar yang harus dijauhi
“Maukah aku kabarkan kepada kalian dosa-dosa besar yang paling besar?” Kami menjawab: “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah, dan durhaka kepada kedua orang tua…” (HR. Bukhari no. 2654 dan Muslim no. 87).
Bahayanya tidak hanya di akhirat yang abadi, namun boleh jadi siksanya disegerakan di dunia ini. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda bahwa ada dua dosa yang Allah segerakan balasannya di dunia ini: kezaliman dan durhaka kepada orang tua.
“Ada dua perbuatan dosa yang Allah segerakan hukumannya di dunia: Al-Baghyu (kezaliman) dan ‘Uququl Walidain (durhaka kepada orang tua).” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 137).
Jamaah sekalian, mari kita merenung,
Mari kita bertanya pada nurani yang paling dalam, selagi ibu masih ada di alam kehidupan. Sudahkah kita menjadi anak yang berbakti kepadanya, yang kehadirannya membawa kebahagiaan? Kapan terakhir kita menyapanya dengan penuh kelembutan, bukan karena butuh bantuan, tapi tulus menanyakan kabar dengan senyuman? Pernahkah tanpa sadar suara kita meninggi saat berhadapan, atau janji dengan kawan lebih kita utamakan, lalu mengabaikan permintaannya yang penuh harapan?
Dan bagi kita yang ibunya telah menghadap Allah Ta’ala, Sudahkah doa kita untuknya tak pernah terlewatkan? Masihkah kita menyambung kasih dengan sahabat-sahabatnya yang ia tinggalkan? Sudahkah kita tunaikan janji dan wasiat yang belum terselesaikan?
Ingatlah, ridha Allah bergantung pada ridha kedua orang tua, dan murka-Nya bergantung pada murka keduanya. Terlebih lagi doa seorang ibu, tiada hijab di hadapan Rabb-nya. Berapa banyak orang yang hidupnya terasa sulit dan penuh derita, rezeki sempit dan hidupnya sengsara, ternyata sebabnya adalah karena durhaka kepada ibunda.
KHUTBAH KEDUA:
Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah.
Bakti kepada ibu bukanlah sekadar berwujud hadiah atau ucapan lembut yang tak berbekas dalam perbuatan. Namun itu adalah amal yang berkesinambungan, yang terwujud dalam sikap, tutur kata, dan perbuatan.
Bagi kita yang ibunya masih ada dalam kehidupan, tunjukkanlah ketaatan dan kerendahan hati. Taatilah perintahnya selama tidak dalam kemaksiatan, rendahkan suara dihadapannya sebagai bentuk kemuliaan. Ingatlah kisah Juraij, sang ahli ibadah yang namanya menjadi pelajaran, yang lebih memilih shalat sunnah daripada panggilan ibunya, hingga doa sang ibu menjadi kenyataan.
Kedua, berikanlah nafkah terbaik yang engkau mampu lakukan. Jangan pernah berkira dalam memberi, karena Allah Ta’ala telah menegaskan dalam firman-Nya yang mulia, bahwa infak terbaik adalah untuk kedua orang tua yang kita cintai.
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: ‘Apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat…” (QS. Al-Baqarah: 215).
Adapun bagi kita yang ibunya telah mendahului, pintu bakti tidaklah tertutup. Rasulullah shalllahu alaihi wa sallam telah memberikan jalan, saat ditanya tentang bakti setelah kematian. Beliau pernah ditanya oleh seorang sahabat dari Bani Salamah: “Wahai Rasulullah, apakah masih ada sisa bakti kepada orang tuaku setelah mereka meninggal?” Beliau menjawab:
“Ya, yaitu: mendoakan keduanya, memintakan ampun untuk keduanya, melaksanakan janji-janji keduanya setelah mereka tiada, menyambung tali silaturahim yang tidak akan tersambung kecuali melalui keduanya, dan memuliakan teman-teman keduanya.” (HR. Abu Daud no. 5142, Ibnu Majah no. 3664. Dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).
Hadirin yang dimuliakan Allah,
Ketahuilah, bakti kepada ibu adalah kunci kebaikan dan keberkahan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Terjemahan: “Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahim.” (HR. Bukhari no. 5986 dan Muslim no. 2557).
Dan tidak ada silaturahim yang lebih agung dan lebih utama untuk disambung daripada hubungan dengan ibu kandung kita sendiri. Bakti kita hari ini adalah investasi untuk masa depan kita di akhirat nanti. Maka, mari kita bertekad dengan sepenuh hati. Bagi yang pernah lalai, segeralah bertaubat dan kembali. Semoga Allah menjadikan kita anak-anak yang berbakti, yang menjadi penyejuk mata dan penenang hati, bagi ibu kita di dunia ini, dan kelak di akhirat nanti.