Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.
Islam adalah agama yang sempurna dan mengajarkan umatnya untuk saling mengasihi. Salah satu wujud kasih sayang adalah dengan saling memberi hadiah atau hibah. Hibah tidak hanya mempererat tali persaudaraan, tetapi juga mendatangkan pahala besar di sisi Allah. Namun, terkadang muncul sebuah pertanyaan: Bolehkah seseorang membeli kembali barang yang sudah ia berikan kepada orang lain sebagai hibah?
Dasar utama dalam permasalahan ini adalah hadits shahih yang menggambarkan betapa buruknya perbuatan meminta kembali hibah yang telah diberikan.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Orang yang meminta kembali hibahnya seperti anjing yang menelan kembali muntahannya.” (HR. Bukhari no. 2589 dan Muslim no. 1622)
Dalam riwayat lain, ditambahkan:
“Tidak pantas bagi kita membuat perumpamaan yang buruk (seperti itu).”
Hadits ini menggambarkan perumpamaan yang sangat keras untuk menunjukkan betapa tercelanya perbuatan menarik kembali sebuah pemberian. Para ulama sepakat bahwa hukum asal mengambil kembali hibah secara paksa atau tanpa keridhaan penerima adalah haram.
Persoalan menjadi sedikit berbeda ketika pemberi hibah tidak mengambilnya secara cuma-cuma, melainkan ingin membelinya kembali. Di sini, para ulama memiliki beberapa pandangan:
Ini adalah pandangan mayoritas ulama dan pendapat yang paling hati-hati. Mereka berpendapat bahwa membeli kembali barang hibah termasuk dalam keumuman hadits “kembali pada hibahnya”.
Meskipun terjadi transaksi jual beli, hal ini bisa menjadi celah bagi pemberi hibah untuk “mengambil kembali” pemberiannya secara halus. Penerima hibah mungkin merasa tidak enak, sungkan, atau tertekan untuk menolak tawaran tersebut, sehingga keridhaannya tidak sepenuhnya murni.
Tujuan dari hibah adalah untuk mencari pahala dan keridhaan Allah. Dengan membeli kembali barang tersebut, seolah-olah ada penyesalan atau ketidaktulusan dalam memberi, yang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan pahala dari amalan tersebut.
Terdapat hadits dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Beliau pernah menyedekahkan seekor kuda untuk perjuangan di jalan Allah (fii sabilillah). Kemudian, beliau mendapati kuda itu dijual karena pemilik barunya tidak merawatnya dengan baik. Umar pun berniat membelinya kembali karena mengira harganya akan murah. Beliau bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menjawab:
“Jangan engkau membelinya dan jangan kembali pada sedekahmu, meskipun ia menjualnya kepadamu seharga satu dirham. Karena sesungguhnya orang yang kembali pada sedekahnya seperti anjing yang kembali pada muntahannya.” (HR. Bukhari no. 1490 dan Muslim no. 1620)
Meskipun hadits ini berbicara tentang sedekah, para ulama menggunakannya sebagai penguat untuk larangan membeli kembali hibah, karena illat (sebab hukum) keduanya sama, yaitu “kembali pada pemberian”.
Ulama Kontemporer yang Berpegang pada pendapat ini di antaranya Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dan Lajnah Ad-Daimah (Komite Fatwa Arab Saudi) secara tegas melarangnya karena termasuk dalam keumuman hadits. Ini adalah pendapat yang dianggap paling aman dan menjaga kehormatan seorang muslim.
Ulama lain memandang bahwa jual beli adalah akad baru yang berbeda dengan mengambil kembali hibah. Jika transaksi dilakukan atas dasar suka sama suka, dengan harga yang wajar, dan tanpa ada tekanan, maka hal itu diperbolehkan.
Jual Beli merupakan Akad yang Berbeda: Larangan dalam hadits adalah untuk al-‘aid (yang kembali), yang dipahami sebagai mengambil kembali secara langsung. Adapun jual beli adalah akad pertukaran (mu’awadhah) yang memiliki hukumnya sendiri. Selama penerima hibah ridha sepenuhnya untuk menjual barang tersebut tanpa paksaan, maka tidak ada masalah.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah memiliki pandangan yang lebih rinci. Beliau menyatakan bahwa jika seseorang yakin bahwa si penerima hibah menjualnya karena memang butuh uang dan menjualnya di pasar (bukan menawarkannya khusus kepada si pemberi), maka tidak mengapa untuk membelinya. Namun, beliau tetap menekankan bahwa meninggalkannya (tidak membelinya) adalah lebih utama (afdal) dan lebih berhati-hati (wara’) untuk keluar dari perselisihan ulama dan menjaga kemurnian niat.
Penting untuk dicatat bahwa larangan ini memiliki satu pengecualian utama, yaitu hibah dari orang tua kepada anaknya. Seorang ayah (atau ibu) berhak untuk mengambil kembali apa yang telah ia hibahkan kepada anaknya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak halal bagi seorang laki-laki untuk memberikan suatu pemberian lalu ia menariknya kembali, kecuali seorang ayah atas apa yang ia berikan kepada anaknya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Berdasarkan dalil-dalil dan pandangan ulama di atas, dapat disimpulkan:
Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk ikhlas dalam setiap amalan dan menjauhkan kita dari perbuatan yang tercela.
Wallahu a’lam bish-shawab.