Salafy Temanggung
Salafy Temanggung oleh Abu Hafshah Faozi

harta bukan barometer

sehari yang lalu
baca 3 menit
Harta Bukan Barometer

alam kehidupan modern, banyak orang yang menjadikan harta kekayaan sebagai tolok ukur keberhasilan dan kemuliaan seseorang. Kaya dianggap berarti mulia, sedangkan miskin dianggap berarti hina. Namun dalam Islam, pandangan ini keliru. Harta bukanlah barometer kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam Mukhtasar Tafsir Ibni Katsir (2/638) menjelaskan,

الله تعالى يعطي المال من يحب ومن لا يحب ويضيق على من يحب ومن لا يحب وإنما المدار في ذلك على طاعة الله في كل من الحالين إذا كان غنيا بأن يشكر الله على ذلك وإذا كان فقيرا بأن يصبر

“Sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan harta kepada orang yang Dia cintai dan kepada orang yang tidak Dia cintai. Dia pun menyempitkan rezeki kepada orang yang Dia cintai dan kepada orang yang tidak Dia cintai. Barometer dalam permasalahan ini tiada lain adalah ketaatan kepada Allah Ta’ala dalam dua kondisi tersebut. Apabila seseorang diberi kekayaan, maka hendaknya ia bersyukur kepada Allah atas hal tersebut. Namun jika dia berada dalam kemiskinan, maka hendaknya ia bersabar.”

Allah Ta’ala memberikan kekayaan dan kesempitan rezeki kepada siapa saja berdasarkan hikmah-Nya yang agung. Kadang orang yang sangat dicintai Allah diuji dengan kemiskinan, seperti para nabi dan orang-orang saleh. Sebaliknya, banyak orang kafir dan durhaka yang hidup bergelimang harta, namun sebenarnya itu adalah istidraj — kelapangan yang menipu dan justru mempercepat kehancuran mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهٖ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ اَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍۗ حَتّٰٓى اِذَا فَرِحُوْا بِمَآ اُوْتُوْٓا اَخَذْنٰهُمْ بَغْتَةً فَاِذَا هُمْ مُّبْلِسُوْنَ

“Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.” (QS. Al-An’am: 44)

Ini menunjukkan bahwa banyaknya harta bukan selalu tanda keberkahan, bahkan bisa jadi istidraj. Ukuran keberhasilan seorang muslim bukan pada kekayaan atau kemiskinan, melainkan pada ketakwaannya kepada Allah Ta’ala. Jika ia kaya, hendaknya bersyukur dengan menggunakan hartanya dalam ketaatan, membantu fakir miskin, membangun masjid, fasilitas dakwah dan tidak tenggelam dalam kemewahan yang melalaikan.

Sebaliknya, jika diuji dengan kemiskinan, ia diperintahkan untuk bersabar, tidak berputus asa, tetap berusaha, menjaga kehormatan diri, dan memperkuat keyakinan bahwa Allah Ta’ala Maha Adil dan Maha Penyayang.

Syukur dan sabar inilah yang menjadi ukuran utama keimanan seseorang. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

َجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh menakjubkan perkara orang beriman. Semua urusannya adalah baik baginya, dan itu tidak terjadi kecuali pada orang beriman. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar dan itu baik baginya.” (HR. Muslim no. 2999)

Harta hanyalah amanah dan ujian, bukan bukti kemuliaan atau kehinaan seseorang. Yang menjadi barometer di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ketaatan dalam segala keadaan: syukur saat lapang, sabar saat sempit. Maka, jangan pernah tertipu dengan gemerlap dunia, dan jangan meremehkan diri sendiri hanya karena kefakiran.

Marilah kita berdoa agar Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur saat diberi kelapangan, dan sabar ketika diuji dengan kesulitan, sehingga kita mendapatkan keridhaan-Nya di dunia dan akhirat. Aamiin

Oleh:
Abu Hafshah Faozi
Sumber Tulisan:
Harta Bukan Barometer