Salafy Temanggung
Salafy Temanggung oleh Abu Hafshah Faozi

fokuslah memperbaiki niat!

sebulan yang lalu
baca 3 menit
Fokuslah Memperbaiki Niat!

Islam memandang niat sebagai pondasi penting yang menentukan nilai dari suatu amal. Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, dalam kitabnya Saidul Khatir (hal. 179), menyampaikan pesan yang sangat dalam mengenai pentingnya memperbaiki niat. Beliau berkata,

التفتوا إخواني إلى إصلاح النيات وترك التزين للخلق ولتكن عمدتكم الاستقامة مع المالك فبذلك صعد السلف وسعدوا

“Wahai saudara-saudaraku, fokuslah kalian untuk memperbaiki niat dan tinggalkanlah sikap menghias-hiasi diri untuk manusia. Hendaklah tujuan kalian adalah istiqomah bersama Sang Penguasa (Allah), karena dengan itulah pendahulu kita yang saleh berhasil naik (derajatnya) dan mendapatkan keberuntungan.”

Dalam Islam, niat bukan hanya sekadar keinginan tetapi merupakan pendorong utama di balik setiap amal perbuatan. Niat memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam ajaran Islam, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,

إنما الأعمال بالنيّات

“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menekankan pentingnya keikhlasan niat dengan meninggalkan tazayyun li al-khalq, yaitu sikap menghias-hiasi diri demi pandangan orang lain. Memperindah tindakan untuk tujuan selain Allah Ta’ala tidak akan memberikan keberkahan. Keikhlasan adalah kunci diterimanya amal di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan amal ibadah yang dilakukan tanpa keikhlasan akan menjadi sia-sia.

Sebagai contoh, dalam ibadah, baik itu shalat, zakat, maupun amal sosial lainnya, seseorang harus menjaga niatnya agar ikhlas demi meraih keridhaan Allah Ta’ala. Jika seseorang mulai mengarahkan niatnya kepada manusia dan pujian mereka, amalnya menjadi riya’, yang pada hakikatnya adalah bentuk kesyirikan kecil. Dalam Al-Quran Allah berfirman,

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ﴿٥﴾ الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ

“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya, yang berbuat riya.” (QS. Al-Ma’un: 4-6)

Ibnul Jauzi rahimahullah mengajarkan bahwa salah satu aspek terpenting dari niat adalah keberlanjutan atau istiqamah. Istiqamah berarti konsisten dalam melakukan kebaikan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala, walaupun menghadapi tantangan dan godaan. Melalui istiqamah, seseorang dapat menjaga kualitas niat agar selalu murni, tidak terpengaruh oleh pandangan manusia.

Istiqamah dalam niat membutuhkan keteguhan kalbu dan kemauan yang kuat. Para salaf atau pendahulu kita yang saleh mampu meraih derajat tinggi dan keberuntungan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala karena mereka senantiasa berpegang teguh pada niat yang benar, tidak terpengaruh oleh pujian atau celaan dari manusia.

Setiap Muslim dianjurkan untuk selalu memeriksa niatnya sebelum melakukan suatu amal. Hal ini dapat dilakukan dengan bertanya pada diri sendiri, “Apakah tindakan ini benar-benar demi Allah atau hanya demi pandangan orang lain?”

Riya adalah beramal agar dilihat dan dipuji orang, sedangkan sum’ah adalah beramal agar didengar dan dipuji orang. Kedua penyakit hati ini dapat merusak niat. Menjauhinya berarti menjaga keikhlasan amal dan tidak berharap pujian atau penghargaan dari manusia.

Keteguhan niat berbanding lurus dengan kekuatan iman. Dengan memperdalam keimanan, seseorang akan memiliki keteguhan hati yang lebih kokoh untuk hanya mengarahkan niatnya kepada Allah Ta’ala.

Para salafush shalih telah memberikan teladan yang kuat dalam menjaga keikhlasan niat. Dengan meneladani kehidupan mereka, kita dapat belajar bagaimana mereka mengedepankan tujuan akhirat dan mengabaikan duniawi.

Dalam setiap amal yang kita lakukan, niat adalah faktor penentu apakah amal tersebut akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atau tidak. Menjaga keikhlasan niat merupakan upaya yang harus dilakukan dengan kesadaran penuh, menjauhi pujian manusia, serta konsisten dalam kebaikan. Dengan memperbaiki niat, seseorang dapat mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana yang telah dicapai oleh pendahulu kita yang saleh. Allahu a’lam

Oleh:
Abu Hafshah Faozi