Di tengah semangat untuk kembali kepada ajaran Islam yang murni, sering kali muncul pertanyaan kritis mengenai praktik yang tidak secara eksplisit ditemukan pada zaman Nabi Muhammad ﷺ. Salah satu yang paling sering menjadi bahan diskusi adalah pembagian tauhid menjadi tiga kategori: Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma’ wa Sifat.
Sebagian kalangan menganggap klasifikasi ini sebagai bid’ah—sebuah inovasi tercela—dengan alasan sederhana: Rasulullah ﷺ dan para sahabat tidak pernah mengajarkannya dalam format tiga poin tersebut.
Namun, apakah tuduhan ini tepat? Ataukah pembagian ini justru merupakan sebuah kunci emas yang dirumuskan para ulama untuk melindungi dan mempermudah pemahaman pilar paling fundamental dalam Islam? Mari kita bedah masalah ini dengan logika dan analogi yang jernih.
Inti dari pembagian tauhid bukanlah menciptakan ajaran baru. Sebaliknya, ini adalah hasil dari sebuah metode penelitian ilmiah yang disebut istiqra’ (penelitian induktif). Para ulama salaf (generasi terdahulu) meneliti secara menyeluruh semua dalil dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang membahas tentang Allah Ta’ala.
Dari penelitian mendalam itu, mereka menemukan sebuah pola yang konsisten: setiap kali Al-Qur’an dan Sunnah berbicara tentang keesaan Allah, pembahasannya selalu berporos pada tiga aspek utama:
Ketiga esensi ini 100% berasal dari wahyu. Pembagian ini dalam rangka memudahkan kita untuk mempelajari dan menguasai isinya.
Analogi: Ilmu Tata Bahasa Arab (Nahwu & Sharaf)
Di zaman Nabi ﷺ, orang Arab berbicara dengan fasih tanpa perlu menghafal istilah Isim, Fi’il, Harf, Mubtada’, atau Khabar. Namun, ketika Islam menyebar ke bangsa non-Arab, para ulama seperti Imam Sibawaih merumuskan kaidah-kaidah ini untuk menjaga Al-Qur’an dari kesalahan pemahaman.
Apakah ilmu Nahwu ini bid’ah? Tentu tidak. Ia adalah alat bantu yang sangat vital. Demikian pula pembagian tauhid; ia adalah alat bantu untuk memahami akidah dengan benar.
Tujuan utama dari klasifikasi ini menjadi sangat jelas ketika kita melihat contoh nyata dari kaum musyrikin Quraisy. Al-Qur’an sendiri menjelaskan sebuah fakta yang mengejutkan:
“Dan jika engkau bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Niscaya mereka akan menjawab, ‘Allah’.” (QS. Luqman: 25)
Kaum musyrikin mengakui Tauhid Rububiyah. Mereka tahu Allah adalah Sang Pencipta Tunggal. Namun, mengapa mereka tetap disebut musyrik dan diperangi oleh Nabi ﷺ? Karena mereka mengingkari Tauhid Uluhiyah. Mereka tetap menyembah Latta, Uzza, dan Manat sebagai perantara menuju Allah.
Pembagian tauhid ini secara tegas menunjukkan letak kesalahan mereka. Ia menegaskan bahwa iman yang benar tidak berhenti pada pengakuan Allah sebagai Pencipta. Iman itu harus melahirkan konsekuensi logis, yaitu hanya menyembah kepada-Nya semata. Inilah inti dakwah seluruh nabi dan rasul.
Analogi: Ilmu Anatomi Kedokteran
Seorang dokter mempelajari tubuh manusia dengan membaginya ke dalam sistem-sistem: peredaran darah, pernapasan, saraf, pencernaan. Apakah ini berarti dokter meyakini tubuh manusia terpecah-pecah? Tentu tidak. Pembagian ini adalah metodologi studi untuk memahami fungsi setiap bagian secara mendalam, agar pada akhirnya ia bisa memahami bagaimana satu tubuh yang utuh bekerja secara harmonis.
Begitu pula dengan tauhid. Kita tidak “membagi-bagi” Dzat Allah. Kita mempelajari aspek-aspek keesaan-Nya agar kita bisa memahami konsep Tauhid secara utuh dan sempurna.
Metode klasifikasi untuk mempermudah pemahaman adalah praktik yang sangat lazim dalam ilmu-ilmu keislaman. Lihatlah Fikih Shalat. Para ulama membaginya menjadi:
Tidak ada satu pun hadits yang datang dengan daftar “Inilah 13 Rukun Shalat”. Para ulama menyimpulkannya dari puluhan dalil yang berbeda untuk menciptakan sebuah kerangka yang sistematis dan mudah diamalkan. Jika metode ini diterima dalam Fikih, mengapa harus ditolak dalam Akidah yang notabene lebih fundamental?
Menuduh pembagian tauhid sebagai bid’ah adalah sebuah kesalahpahaman antara tujuan (ghayah) dan sarana (wasilah). Tujuan kita adalah mentauhidkan Allah dengan sempurna, dan klasifikasi ini adalah sarana atau peta terbaik yang telah dirumuskan para ulama untuk mencapai tujuan tersebut.
Pembagian tauhid bukanlah inti tauhid itu sendiri, tetapi tanpanya, pemahaman kita tentang keesaan Allah Ta’ala bisa menjadi kabur, tidak sistematis, dan rentan terhadap syubhat (kerancuan), persis seperti yang dialami oleh kaum musyrikin zaman dahulu.
Ini adalah bentuk kasih sayang para ulama kepada generasi setelahnya, agar kita dapat memegang teguh akidah yang lurus di atas pondasi ilmu yang kokoh. Allahu a’lam