Salafy Temanggung
Salafy Temanggung oleh Abu Hafshah Faozi

amalan yang tidak ada putusnya

14 hari yang lalu
baca 2 menit
Amalan Yang Tidak Ada Putusnya

Segala puji bagi Allah Ta’ala yang menjadikan dzikir sebagai cahaya bagi hati, ketenangan bagi jiwa, dan penopang hidup seorang mukmin.

Dalam hiruk-pikuk kehidupan dunia yang sementara ini, manusia disibukkan dengan berbagai jenis amal perbuatan. Namun, di antara sekian banyak amalan, ada satu amalan yang tidak pernah putus—baik di dunia, saat kematian, bahkan setelah kebangkitan di akhirat kelak—yaitu dzikrullah, mengingat Allah Azza wa Jalla.

Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah menyatakan,

الأعمال كلها يفرغ منها، والذكر لا فراغ له ولا انقضاء، والأعمال تنقطع بانقطاع الدنيا، ولا يبقىٰ منها شيء في الآخرة، والذكر لا ينقطع، المؤمن يعيش على الذكر ويموت عليه، وعليه يبعث

“Setiap amalan pasti berakhir, namun dzikir adalah amalan yang tidak terputus dan tiada pernah berakhir. Semua amalan akan terputus dengan berakhirnya seseorang di dunia dan tidak ada sisa di akhiratnya. Sementara dzikir tidak akan terputus. Seorang mukmin hidup dengan dzikir, meninggal di atasnya, dan akan dibangkitkan dengannya.” (Tafsir Ibnu Rajab, 1/163)

Pernyataan beliau ini merupakan pencerahan ilmiah yang menyentuh inti dari hubungan seorang hamba dengan Rabbnya. Setiap amal ibadah dalam syariat Islam—baik shalat, puasa, zakat, haji, maupun amal sosial—pasti memiliki waktu, kondisi, dan batas tertentu. Ketika ajal menjemput, semua itu terhenti. Firman Allah Ta‘ala,

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ

“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)

Dengan wafatnya seseorang, maka semua aktivitas amal terputus kecuali tiga sebagaimana sabda Nabi ﷺ,

إِذَا مَاتَ الإِنسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاثَةٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika manusia meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Berbeda dengan dzikir. Ia tidak mengenal waktu dan tidak dibatasi oleh tempat. Dzikir bisa dilakukan dengan lisan, hati, dan amal. Ia hidup dalam setiap detak napas seorang mukmin.

Dzikir menyatu dalam kehidupan orang beriman. Ia hidup bersamanya, menjadi penopang hatinya, dan menyertainya dalam berbagai keadaan. Bahkan saat tubuh lemah, sakit, atau sekarat—dzikir tetap bisa dilakukan.

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

الذكر للقلب مثل الماء للسمك، فكيف يكون حال السمك إذا فارق الماء؟

“Dzikir bagi hati seperti air bagi ikan. Bagaimana keadaan ikan jika jauh dari air?” (Majmu’ al-Fatawa, 10/625)

Tidak ada amalan yang menyertai kita sepanjang hayat, saat sakaratul maut, di alam kubur, hingga di hari kebangkitan kecuali dzikrullah. Maka jadikan dzikir sebagai nafas hidupmu yang tidak terpisahkan darinya. Allahu a’lam

Oleh:
Abu Hafshah Faozi