Baca artikel Islami pilihan dari berbagai media terpercaya

SHALAWAT-SHALAWAT YANG BID'AH Kita sering mendengar rangkaian-rangkain lafazh shalawat kepada Nabi ﷺ yang dibuat-buat tidak sesuai dengan yang datang dari ucapan Nabi ﷺ, tidak pula dari para shahabat, tabi'in dan para ulama ahli ijtihad. Namun, rangkaian-rangkaian itu dibuat oleh para guru yan…

JIKA HAFALAN TIDAK BANYAK  .Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, يجوز لك أن تردد السور في صلاة التراويح، لعموم قول الله تعالى: ﴿فاقرءوا ما تيسر من القرآن﴾. "Kamu boleh mengulang-ulangi surah-surah pada shalat tarawih berdasarkan keumuman kandungan firman Allah ta'ala, فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ "Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an." QS. Al-Muzammil: 20 (Fatawa Nur 'alad Darb, kaset no. 26) Jadi hanya membaca surah yang itu-itu saja karena keterbatasan hafalannya ini tidak masalah. Dan bila ingin membaca surah yang belum dia hafal pada shalat tarawih dia bisa membacanya dari mushaf. SHALAT DENGAN MEMEGANG MUSHAF Berkata Imam al-Bukhari rahimahullah, وَكَانَتْ عَائِشَةُ يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ مِنَ المُصْحَفِ "Aisyah radhiyallahu 'anha pernah shalat dan yang menjadi imam ialah budak beliau yang bernama Dzakwan dengan membaca dari mushaf." (Kitab al-Adzan: Bab Imamah al-'Abdi wa al-Maula) ▪️ Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, وَهَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ مِنْ أَنَّ الْقِرَاءَةَ فِي الْمُصْحَفِ لَا تُبْطِلُ الصَّلَاةَ مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ و أَحْمَدَ "Pendapat akan sahnya shalat dengan membaca melalui mushaf yang saya sebutkan ini merupakan madzhab kami (Syafi'iyah), Malik, Abu Yusuf, Muhammad asy-Syaibani, dan Ahmad." (Al-Majmu', IV/95) ▪️ Al-Allamah Ibnu Baaz rahimahullah menerangkan, فلا حرج على المؤمن أن يقرأ من المصحف إذا دعت الحاجة إلى ذلك في التراويح, أو في قيام الليل, أو في صلاة الكسوف؛ لأن المقصود أن يقرأ كتاب الله في هذه الصلوات, وأن يستفيد من كلام ربه-عز وجل-وليس كل أحد يحفظ القرآن, أو يحفظ السور الطويلة من القرآن فهو في حاجة إلى أن يسمع كلام ربه, وأن يقرأه من المصحف فلا حرج في ذلك. وقد رأى بعض أهل العلم منع ذلك ولكن بدون دليل "Tidak masalah bagi seseorang untuk membaca dari mushaf ketika diperlukan di shalat tarawih, shalat malam, atau shalat gerhana. Karena tujuan utamanya ialah untuk membaca Al-Qur'an pada saat shalat-shalat tersebut dan mengambil pelajaran darinya. Tidak setiap orang hafal Al-Qur'an atau hafal surah-surah panjang. Dalam keadaan dia perlu untuk mendengarkan firman Allah. Jadi tidak masalah membacanya melalui mushaf. Sebagian ulama tidak membolehkan namun tanpa pegangan dalil." (Fatawa Nur 'alad Darb, IX/454-455) SIAPKAN MEJA KECIL ATAU KURSI UNTUK MELETAKKAN MUSHAF SAAT POSISI RUKUK Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah mengingatkan point ini, ويلاحظ أن السنة والأفضل أن يوضع على كرسي مرتفع يكون حول المصلي يضعه عليه, فإذا قام من السجود أخذه لا يضعه في الأرض؛ لأن احترامه متعين فإذا تيسر كرسي أو شيء مرتفع وضعه عليه, أما إذا ما تيسر شيء فلا بأس أن يضعه على الأرض النظيفة الطيبة "Dan perlu diingat, bahwa yang sunnah dan afdal ialah meletakkan mushaf di kursi yang dekat dengan tempat shalatnya. Lalu saat bangkit dari sujud dia ambil kembali mushafnya. Dan jangan meletakkannya di lantai. Karena memuliakan Al-Qur'an hukumnya wajib. Jadi bila ada kursi atau benda apapun yang berada di atas permukaan lantai; maka dia letakkan mushafnya di sana. Tapi bila memang tidak ada; tidak masalah diletakkan di lantai namun yang bersih dan suci." (Dinukil dari https://binbaz.org.sa/old/28793 ) YANG LEBIH UTAMANYA LEWAT HAFALAN Tadi yang dibahas ialah tentang hukum, yaitu boleh membaca surah dengan memegang mushaf ketika sedang shalat. Akan tetapi apabila kita membahas tentang yang afdalnya, maka tentu jika membaca surah melalui hafalan ketika sedang shalat akan lebih baik. Al-Allamah Ibnu Baaz berkata, من تيسر له أن يقرأ حفظاً فذلك أولى وأكمل، أما من لا يتيسر له ذلك لأنه لا يحفظ القرآن فلا مانع من أن يقرأ من المصحف "Bagi yang mudah membaca surah (di dalam shalat) melalui hafalan maka ini lebih utama dan lebih sempurna, adapun jika seseorang kesulitan bila lewat hafalan maka tidak masalah membaca dari mushaf." (Fatawa Nur 'alad Darb) Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menyebutkan alasannya, وأما في الصلاة : فالأفضل أن يقرأ عن ظهر قلبوذلك لأنه إذا قرأ من المصحف فإنه يحصل له عمل متكرر في حمل المصحف ، وإلقائه ، وفي تقليب الورق ، وفي النظر إلى حروفه ، وكذلك يفوته وضع اليد اليمنى على اليسرى على الصدر في حال القيام ، وربما يفوته التجافي في الركوع والسجود إذا جعل المصحف في إبطه ، ومن ثَمَّ رجحنا قراءة المصلي عن ظهر قلب على قراءته من المصحف Apabila di dalam shalat maka yang utama dia membaca surah melalui hafalan. Karena jika membaca dari mushaf maka dia akan melakukan gerakan yang terus-menerus untuk memegangi mushaf, meletakkannya, memindahkan halaman, dan melihat kepada huruf-hurufnya. Demikian juga akan membuatnya terlepas dari sunnah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dada ketika sedang berdiri, dan bahkan juga bisa terlepaskan dari melebarkan lengan di posisi rukuk dan sujud apabila dia meletakkan mushaf di ketiaknya. Dengan alasan-alasan ini kami berpendapat agar orang yang mengerjakan shalat membaca surah melalui hafalannya saja daripada dia membaca dari mushaf." (Al-Muntaqa min Fatawa asy-Syaikh Shalih, pertanyaan no. 16) Tapi kembali lagi pada pembahasan sebelumnya, jika dia perlu untuk memegang mushaf ketika shalat maka tidak masalah. -- Jalur Masjid Agung @ Kota Raja -- Hari Ahadi [ Penggalan pembahasan Risalah Fushul fish Shiyam ] https://t.me/nasehatetam/6256 ------------------------- IMAM MEMBACA MUSHAF Pertanyaan: Bismillah, seorang imam masjid mengimami jamaah shalat fardhu dengan membaca mushaf al-Qur’an di depannya. Apakah imam seperti ini ada contohnya (dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat)? Apakah ada dalil yang menganjurkannya? Apakah bukan bid’ah? muh__________@gmail.com Menjawab pertanyaan tersebut kami bawakan beberapa fatwa ulama berikut ini: 1. Fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin Soal: Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala memberkahi Anda. Ini adalah sebuah surat dari seorang pendengar (Radio Idza’atul Quran), saudara fillah bernama Khalifah, seorang siswa dari Libya yang tinggal dan belajar di Yugoslavia. Ia berkata dalam suratnya, “Saya mengirim surat ini untuk bertanya kepada Anda, dengan mengharap taufik dari Allah….” Ia berkata dalam pertanyaannya, “Pertama, bolehkah seseorang melakukan shalat dan membaca langsung dari mushaf?” Jawab: Ya, seseorang diperbolehkan membaca al-Qur’an dari mushaf ketika shalat apabila dia tidak hafal al-Qur’an. Adapun jika dia hafal, lebih bagus dia membaca dengan hafalannya. Hal itu karena membawa mushaf dalam shalat mengakibatkan: a. Seseorang tidak meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dadanya. Ini berarti meninggalkan sunnah. b. Mata akan lalai melihat tempat sujud karena terfokus pada mushaf. c. Gerakan melihat dari satu baris ke baris yang lain dan dari satu sisi ke sisi yang lain, menjadi aktivitas tersendiri untuk mata. d. Gerakan membawa mushaf, meletakkannya, dan membuka lembaran-lembarannya. Jika seseorang tidak membutuhkan hal-hal tersebut, tanpa diragukan, menghindarinya adalah lebih bagus. Adapun jika ia membutuhkannya, misalnya dia tidak hafal al-Qur’an, tidak mengapa ia membawa mushaf dan membacanya. Pertanyaan kedua: Apakah boleh membaca mushaf dalam shalat jahriyah (yang bacaannya dikeraskan) dan itu shalat fardhu/wajib? Jawab: Ya, boleh melakukan shalat dengan melihat mushaf, karena hal itu bukan gerakan yang banyak bagi orang yang shalat. Kesibukan pandangan di sini adalah kesibukan yang terkait dengan maslahat shalat sehingga tidak meniadakan (sahnya) shalat. Inilah pendapat yang kuat di antara pendapat para ulama, yaitu seseorang boleh membaca mushaf dalam shalat fardhu dan shalat wajib. (Rekaman acara Nurun ‘Alad Darb, Siaran Radio Idza’atul Qur’an) ## 2. Fatwa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz Tidak mengapa membaca mushaf dalam shalat tarawih karena dengan begitu bisa memperdengarkan kepada makmum seluruh al-Qur’an (tiga puluh juz). Selain itu, dalil-dalil syar’i dari al-Qur’an dan al-Hadits menunjukkan disyariatkannya membaca al-Qur’an dalam shalat. Dalil ini berlaku umum, baik membaca al-Qur’an dari mushaf maupun dari hafalan. Di samping itu, terdapat riwayat dari Aisyah bahwa beliau memerintahkan budaknya yang bernama Dzakwan untuk mengimaminya dalam shalat tarawih, dan dia membaca dari mushaf. Riwayat ini ada dalam Shahih al-Bukhari, diriwayatkan secara mu’allaq (tanpa menyebutkan sanadnya) dan majzum (dengan ungkapan kalimat aktif yang menunjukkan bahwa al-Bukhari mensahihkannya). (Majmu’ Fatawa Ibni Baz) ## 3. Fatwa Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan tentang Makmum yang Membaca Mushaf Kami menyaksikan sebagian makmum membawa mushaf untuk mengikuti bacaan imam. Hal ini tidak sepantasnya dilakukan karena hal-hal yang telah kami sebutkan (yaitu adanya gerakan yang terulang-ulang) dan mereka tidak perlu mengikuti bacaan imam. Benar, apabila imamnya tidak bagus hafalannya lalu mengatakan kepada sebagian makmum, “Shalatlah engkau di belakangku dan koreksi bacaanku dari mushaf jika aku salah,” lalu ia membenarkan bacaannya, ini tidak mengapa. (al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan) Demikianlah pendapat yang dikuatkan oleh para ulama tersebut. Ini adalah mazhab Syafi’i dan Hanbali. Alasan mereka adalah riwayat Aisyah dalam Shahih al-Bukhari secara mu’allaq: وَكَانَتْ عَائِشَةُ يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ مِنَ الْمُصْحَفِ “Budak ‘Aisyah, Dzakwan, telah mengimami beliau dengan (membaca) dari mushaf.” Para ulama tersebut juga menerangkan bahwa hal itu saat dibutuhkan, bisa jadi karena hafalan yang tidak bagus atau tidak hafal surat yang akan dibaca. Adapun gerakan yang dilakukan saat itu tidak berpengaruh terhadap sahnya shalat karena itu adalah gerakan ringan dan demi maslahat shalat, lebih-lebih jika hal itu memang dibutuhkan. Dalam masalah ini ada pendapat yang lain, yaitu mazhab Malikiyah. Mereka berpendapat makruhnya membaca dari mushaf dalam shalat fardhu secara mutlak. Adapun dalam shalat sunnah, mereka membolehkan tanpa ada kemakruhan jika sejak awal membaca dari mushaf, bukan dari pertengahan. Hal ini karena membaca mushaf sejak awal lebih sedikit gerakannya. Pendapat yang ketiga adalah mazhab Hanafi. Mereka berpendapat bahwa membaca dari mushaf membatalkan shalat secara mutlak. (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah) Yang paling kuat adalah pendapat yang pertama. Wallahu a’lam. Penulis: al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc. - https://asysyariah.com/imam-membaca-mushaf/ ------------------------- Menyimak Bacaan Imam dengan Melihat Mushaf Bolehkah seorang wanita ataupun seorang lelaki mengikuti/menyimak bacaan imam dengan melihat mushaf dalam pelaksanaan shalat tarawih? Jawab: Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Tidak boleh bagi makmum, baik pria ataupun wanita mengikuti bacaan imam dengan melihat mushaf. Karena hal itu akan menyibukkannya dari amalan shalatnya tanpa ada hajat/kebutuhan untuk melakukan hal tersebut. Perbuatan seperti ini biasa dilakukan oleh sebagian pemuda sekarang. Padahal sepanjang yang kami ketahui, ini bukanlah amalan salaf, maka wajib ditinggalkan dan dilarang. Jangankan makmum, bagi imam yang memang berhajat untuk melihat mushaf saja diperselisihkan oleh ulama. Apatah lagi dengan makmum?” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/196,197) Sumber : - https://asysyariah.com/menyimak-bacaan-imam-dengan-melihat-mushaf/ ---------------------------- BOLEHKAH IMAM MEMBACA AL-QUR'AN DARI MUSHAF KETIKA SHALAT TARAWIH? Al-Imam Muhammad bin Muslim az-Zuhry rahimahullah ditanya tentang hukum membaca al-Qur'an dengan melihat mushaf dalam shalat, maka beliau menjawab: لم يزل المسلمون يفعلون ذلك منذ كان الإسلام. "Kaum muslimin terus melakukannya sejak munculnya Islam." Diriwayatkan oleh al-Marwazy dalam Qiyamul Lail, no. 233 https://t.me/forumsalafy/15473 --------------------------- APAKAH BOLEH SEORANG IMAM MEMBACA DENGAN MELIHAT MUSHAF AL-QUR'AN KETIKA SHALAT TARAWIH? Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta berfatwa, ” القراءة بالمصحف في صلاة التراويح لا بأس بها إذا كان الإمام غير حافظ وقد ثبت ذلك عن جماعة من السلف “ “Membaca dengan melihat mushaf al-Qur'an pada shalat tarawih tidak mengapa, jika imam memang tidak hafal Al-Qur'an. Perkara tersebut telah tetap (shahih riwayatnya) dari sekelompok ulama salaf.” Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah 6/87 https://t.me/salafymajalengka/3319 ---------------------------

Renungan Untuk Para Suami HENDAKLAH NIATKAN UNTUK MENDAPAT PAHALA DARI ALLAH TA'ALA Dari Ka'b bin 'Ujrah radhiyallahu 'anhu, ia mengisahkan, "Ada seseorang melewati Nabi ﷺ dan para sahabatnya. Mereka melihat kesabaran dan jiwa semangat orang itu. Kemudian para sahabat berkata kepada …

Sebelum kita membahas tentang topik seperti judul postingan ini. Mari kita baca terlebih dahulu tentang pentingnya kepemimpinan, dikutip dari Majalah Asy Syariah Edisi 16. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Wajib diketahui bahwa mengangkat pemimpin untuk mengatur urusan manus…

 .SEMANGAT MENUNJUKKAN JALAN² KEBAIKAN DAN KEUTAMAANNYA جَاءَ رَجُلٌ إلى النبيِّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، فَقالَ: إنِّي أُبْدِعَ بي فَاحْمِلْنِي، فَقالَ: ما عِندِي، فَقالَ رَجُلٌ: يا رَسولَ اللهِ، أَنَا أَدُلُّهُ علَى مَن يَحْمِلُهُ، فَقالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّ…

ADAB-ADAB MEMBACA AL-QURAN AL-KARIM . Membaca Al-Quran adalah ibadah yang sangat agung. Dalam menunaikan ibadah ini ada beberapa adab yang semestinya diperhatikan oleh setiap yang membaca Al-Quran. Diantara adab-adab tersebut: Pertama: Memurnikan niat, Yakni membaca Al-Qu…

 .ANJURAN MERAHASIAKAN MIMPI عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي ﷺ أنه كان يقول: «لا تقصوا الرؤيا إلا على عالم أو ناصح». Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Nabi ﷺ beliau bersabda, ❝Janganlah kalian menceritakan mimpi kecuali kepada seorang 'alim atau seorang …

KHATIB DAN IMAM SHALAT JUM'AT ORANG YANG BERBEDA Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah Pertanyaan: في بعض المناطق يجعلون أحد الشباب يخطب الخطبة ، ويصلي الصلاة رجل آخر ، ومستمرون على هذا، فما حكم صلاتهم؟ Di beberapa wilayah menjadikan khatib dan imam pada shalat Jum'at dari orang yang berbeda, dan mereka selalu melakukannya. Apa hukum shalat mereka? . Jawab: ليس فيه بأس إذا كان الشاب يحسن الخطبة أكثر والإمام لا يحسنها إلا قليلا واستعملت الجهات المسئولة من يخطب بالناس خطبة أكثر فائدة فلا بأس ، ولا يلزم أن يتولى الصلاة والخطبة شخص واحد ؛ لأن الصلاة مستقلة عن الخطبة ، ولكن الأفضل والأولى أن يتولاهما شخص واحد ، وأن تختار الجهات المسئولة من يصلح لذلك تأسيًا بالنبي ﷺ وبخلفائه الراشدين وبأتباعهم بإحسان ، والله ولي التوفيق. Hal tersebut tidaklah mengapa apabila khatib memang mahir berkhutbah namun kurang mahir menjadi imam, sehingga lembaga pengurus masjid menunjuknya sebagai khatib saja karena demikian lebih baik, dan ini tidak mengapa. Tidak harus yang menjadi imam dan khatib adalah orang yang sama. Karena shalat dan khutbah adalah dua ibadah yang berbeda. Namun yang afdhal adalah keduanya dilakukan oleh satu orang. Dan lembaga pengurus sebuah masjid hendaknya memilih orang yang benar-benar pantas untuk melakukannya, dalam rangka meniru Nabi ﷺ, para Khulafaur Rasyidin, dan para pengikut setia mereka. Wallahu waliyyut taufiq. Majmu' Fatawa wa Maqalat Asy-Syaikh Ibnu Baz: 12/383 https://binbaz.org.sa/fatwas/5130/أحد-الشباب-يخطب-الخطبة-ويصلي-الصلاة-رجل-آخر 📲Join & Share Channel: https://t.me/salafy_sorowako https://t.me/assunnahsorowako --------- BOLEHKAH IMAM DAN KHOTIB BERBEDA? Pertanyaan, Alhamdulillaah. Mau bertanya ustadz, bagaimana hukum sholat ied dgn imam dan khotib yang berbeda. Termasuk ada larangan tidak..? Baarokallohu fiikum.. Jawaban, al-Ustadz Abu Fudhail 'Abdurrahman bin 'Umar hafizhahullah, Ini termasuk permasalahan yang terjadi perbedaan pandangan di kalangan ulama. Kita nukilkan secara ringkas penjelasan syekh Abdulaziz Ibnu Baz. Beliau rahimahullah berkata, فالأفضل والسنة أن يتولى الخطابة من يتولى الإمامة فيكون هو الإمام وهو الخطيب يوم الجمعة، وهكذا العيد، لكن لو قدر أن الخطيب لم يتيسر له ذلك بأن أصابه مانع أو حيل بينه وبين ذلك فالصلاة صحيحة، وهكذا لو صلى باختياره ولم يخطب بل استناب من يخطب عنه فلا بأس... فالصواب في هذا أنه لا بأس أن يتولى الإمامة غير من تولى الخطبة هذا هو الصواب؛ لأن هذه عبادة مستقلة وهذه عبادة مستقلة ولكن الأفضل والأولى أن يتولاهما واحد كما فعله النبي ﷺ والخلفاء بعده، السنة أن يكون الإمام هو الخطيب، لكن لو عرض عارض ومنع مانع فصلى غير الخطيب فلا بأس. "Yang afdal dan sunnah adalah yang berkhotbah, dialah yang menjadi imam sehingga dia menjadi imam dan khotib di hari Jumat, demikian pula ini berlaku pada hari Id. Namun, jika ternyata khotibnya tidak dimudahkan untuk itu, seperti ada sesuatu yang menjadi penghalang akan hal itu, salatnya sah. Demikian pula kalau memang keinginannya untuk menjadi imam saja dan tidak berkhotbah bahkan dia mencari ganti orang untuk berkhotbah, tidak mengapa. Pendapat yang benar dalam hal ini adalah tidak mengapa orang yang menjadi imam bukan orang yang berkhotbah, inilah pendapat yang benar. Karena khotbah merupakan ibadah tersendiri dan salat juga ibadah tersendiri. Namum, yang afdal dan lebih utama adalah satu orang yang menjalankan kedua tugas tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khulafa' setelah beliau. Yang sesuai dengan sunnah adalah yang menjadi imam, dialah yang menjadi khotib, namun, jika ada kendala tertentu sehingga dia menjadi imam saja bukan khotib, tidak mengapa." (https://binbaz.org.sa/fatwas/6847/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%A7%D8%B4%D8%AA%D8%B1%D8%A7%D8%B7-%D8%A7%D9%86-%D9%8A%D9%83%D9%88%D9%86-%D8%A7%D9%84%D8%AE%D8%B7%D9%8A%D8%A8-%D9%88%D8%A7%D9%84%D8%A7%D). Wallahu A'lam 📃 𝐒𝐮𝐦𝐛𝐞𝐫: 𝐌𝐚𝐣𝐦𝐮'𝐚𝐡 𝐚𝐥-𝐅𝐮𝐝𝐡𝐚𝐢𝐥 ✉️ 𝐏𝐮𝐛𝐥𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢: https://t.me/TJMajmuahFudhail

UNTAIAN KALIMAT HIKMAH ABUL FATH AL-BUSTY RAHIMAHULLAH [ 01 Hakikat Harta Seorang ] زيـادَةُ المَرء فـي دُنيـاهُ نقصـانُ * * * وربْحُـهُ غَيرَ محض الخَير خُسـرانُ وكُل وِجـدانِ حَظٍّ لا ثَبـاتَ لَـهُ* * * فإنَّ مَعنـاهُ فـي التَّحقيق فُقْـدانُ Seorang yang hartanya bertambah sejatinya justru berkurang.¹ Pendapatannya bila murni dihabiskan bukan pada kebaikan adalah kerugian.² Setiap perolehan yang didapat namun tidak menetap, maka hakikat sebenarnya adalah kehampaan. ³ 📚 Unwānul Hikam: bait 1-2 . PENJELASAN 1. Seorang yang hartanya bertambah sejatinya justru berkurang. Karena masing-masing orang telah ditentukan jatah rezkinya. Sebagaimana disebut dalam sebuah hadits, ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الـْمَلَكُ فَيَنفُخُ فِيْهِ الرٌّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ "Kemudian diutus malaikat kepada janin itu, lalu meniupkan ruh padanya dan diperintahkan untuk menulis empat kalimat; menulis rezkinya, ajalnya, amalannya, dan (apakah) dia sengsara atau bahagia". HR. Bukhari dan Muslim. Jadi, ketika seorang bertambah hartanya di dunia ini, hakikatnya itu mengurangi jatah rezki yang ditentukan untuknya. Seperti umur; manakala seorang bertambah umurnya, hakikatnya umurnya berkurang dan semakin mendekati ajal. 2. Pendapatannya bila murni dihabiskan bukan pada kebaikan adalah kerugian. Yakni, ketika harta dihabiskan untuk perkara sia-sia maka itu berbalik menjadi kerugian bagi pemiliknya. Allah Ta'ala berfirman, وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا عَلَى النَّارِۗ اَذْهَبْتُمْ طَيِّبٰتِكُمْ فِيْ حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَاۚ فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُوْنِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُوْنَ فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُوْنَ "Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (seraya dikatakan kepada mereka), “Kamu telah menghabiskan (rezeki) yang baik untuk kehidupan duniamu dan kamu telah bersenang-senang (menikmati)nya; maka pada hari ini kamu dibalas dengan azab yang menghinakan karena kamu sombong di bumi tanpa mengindahkan kebenaran dan karena kamu berbuat durhaka (tidak taat kepada Allah).” Qs. Al-Ahqaf: 20 3. Setiap perolehan yang didapat namun tidak menetap, maka hakikat sebenarnya adalah kehampaan. Harta seorang yang sebenarnya adalah yang dia membelanjakannya untuk perkara kebaikan, maka itulah harta simpanan yang kekal hingga sampai akhirat. عن عائشة رضي اللَّه عنها: أَنَّهُمْ ذَبَحُوا شَاةً، فقالَ النَّبِيُّ ﷺ: مَا بَقِيَ مِنها؟ قالت: مَا بَقِيَ مِنها إِلَّا كَتِفُهَا، قَالَ:بَقِي كُلُّهَا غَيرَ كَتِفِهَا رواه الترمذي وقال: حديث صحيح. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya mereka menyembelih kambing (dan meyedekahkannya). Nabi ﷺ berkata, “Apa yang tersisa darinya (kambing)?” Aisyah berkata, "Tidak tersisa darinya kecuali bahunya". Nabi ﷺ berkata, “Tersisa seluruhnya kecuali bahunya.” HR. at-Tirmidzi dan berkata, hadis ini shahih. Maksudnya, harta yang disedehkan itulah yang tersisa; kekal hingga di akhirat nanti. Adapun harta yang tidak dibelanjakan untuk kebaikan, maka itu akan lenyap. Harta yang ia tumpuk, hakikatnya bukan harta miliknya, namun harta ahli warisnya; ketika datang ajal, semua hartanya akan ia tinggalkan. Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah Ta'ala berfirman, ﻳَﻘُﻮﻝُ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪُ ﻣَﺎﻟِﻰ ﻣَﺎﻟِﻰ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﻟِﻪِ ﺛَﻼَﺙٌ ﻣَﺎ ﺃَﻛَﻞَ ﻓَﺄَﻓْﻨَﻰ ﺃَﻭْ ﻟَﺒِﺲَ ﻓَﺄَﺑْﻠَﻰ ﺃَﻭْ ﺃَﻋْﻄَﻰ ﻓَﺎﻗْﺘَﻨَﻰ ﻭَﻣَﺎ ﺳِﻮَﻯ ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻬُﻮَ ﺫَﺍﻫِﺐٌ ﻭَﺗَﺎﺭِﻛُﻪُ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ “Hamba berkata, “Harta-hartaku.” Bukankah hartanya itu hanyalah tiga: yang ia makan dan akan sirna, yang ia kenakan dan akan usang, yang ia beri yang sebenarnya harta yang ia kumpulkan. Harta selain itu akan sirna dan diberikan kepada orang-orang yang ia tinggalkan.” HR. Muslim no. 2959. --------------------- [ 02 Dunia Itu Fana ] يا عامِـراً لخَـرابِ الدَّارِ مُجتهِـداً* * * باللهِ هـل لخَـرابِ العمر عُمـرانُ "Wahai yang menghuni dunia yang akan sirna, yang bersungguh-sungguh (menumpuk harta dan membangun bangunan), dengan menyebut Allah (daku bertanya padamu), apakah orang yang habis usianya dia memiliki dua umur (punya kesempatan hidup kedua)?" 📚Unwānul Hikam, bait ke-3 PENJELASAN Dunia itu fana. Semuanya akan sirna; bangunannya akan hancur, dan para penghuninya akan dikembalikan kepada Allah. Pun demikian, banyak manusia melalaikan hal ini. Mereka sibuk mengisi harinya dengan menumpuk harta dan membangun tempat-tempat tinggal yang megah. Berinvestasi untuk masa depan. Seperti akan tinggal selamanya di dunia. Seakan dunialah tempat tinggal yang sesungguhnya. Tentulah hal ini merupakan kesia-siaan. Mereka terluputkan dari perkara terpenting di kehidupan dunia ini; yaitu beribadah kepada Allah, sebagai bekal menuju akhirat; kehidupan sesungguhnya, yang kekal nan abadi. Rasulullah ﷺ bersabda, اللهم لا عيش إلا عيش الآخرة "Ya Allah, tidak ada kehidupan (yang yang hakiki) kecuali kehidupan di akhirat". HR. Bukhari 4098 Penggambaran tentang dunia juga sangat gamblang diterangkan oleh Rasulullah ﷺ. Beliau bersabda, ما لي وما للدُّنيا ، ما أنا في الدُّنيا إلَّا كراكبٍ استَظلَّ تحتَ شجرةٍ ثمَّ راحَ وترَكَها. "Apa urusanku dengan dunia. Aku di dunia tidak lain seperti seorang musafir yang bernaung di bawah pohon, untuk istirahat, kemudian meninggalkannya" HR. Tirmidzi 2377. Demikianlah, dunia ini hanyalah sementara. Sebagai jembatan menuju kehidupan selanjutnya; akhirat. Tentulah orang yang dia bernaung di bawah pohon untuk istirahat dari melakukan perjalanan, ia tidak akan bertinggal lama-lama di situ, apalagi membangun istana. Ia hanya berhenti secukupnya, kemudian melanjutkan perjalanan. Maka orang yang berakal, dia tidak akan terlena dengan kesenangan dunia. Tidak akan menjadikan dunia sebagai fokus utamanya, namun ia jadikan sebagai perantara menuju akhirat, kehidupan yang sesungguhnya. Allah ta'ala berfirman, وما الحياةُ الدّنيا إلا لَعِبٌ ولهوٌ وللدّارُ الآخرةُ خيرٌ للذينَ يتّقونَ أفلا تَعقلونَ "Dan kehidupan dunia hanyalah kehidupan yang penuh permainan dan hiburan yang memperdayakan. Dan sungguh kehidupan akhirat jauh lebih baik, bagi orang-orang yang bertaqwa. Tidakkah kalian tidak berpikir?" [QS. Al-An'am: 32] Al-Imam Muhammad Al-Munbajja menukil dari sebagian pujangga, يحسب الجاهل الشيء الذي هو لا شيء شيئا و الشيء الذي هو الشيء لا شيء Orang jahil menganggap sesuatu yang bukan sesuatu adalah sesuatu (yang hakiki), dan (menganggap) sesuatu yang itu sesuatu (yang hakiki) itu bukan sesuatu. [ Tasliyatu Ahlil Mashaa-ib: 21 ] Maksudnya: orang jahil memandang kehidupan dunia yang semu; bukan kehidupan sesungguhnya, dianggapnya sebagai kehidupan yang hakiki. Sedangkan kehidupan akhirat yang itu merupakan kehidupan hakiki, dianggapnya tidak nyata. Berkata Al Imam Asy Syafi'i rahimahullah, dalam bait syairnya: إن لله عبادا فطنا تركوا الدنيا وخافوا الفتنا... نظروا فيها فلما علموا أنها ليست لحي وطنا... جعلوها لجة واتخذوا صالح الأعمال فيها سفنا... "Sesunggunnya Allah memiliki hamba-hamba yang cerdas... Mereka meninggalkan dunia, dan takut tertimpa fitnah... Mereka melihat dunia, maka ketika mereka tahu... Bahwasanya dunia bukanlah tempat tinggal yang hakiki. Merekapun meninggalkannya... Mereka menjadikannya seumpama samudra... Dan mereka menjadikan amal sholeh sebagai bahteranya... [Dhiwan Al Imam Asy Syafi'i. Hal: 10]. ------------------------- [ 03 Ambisi Harta Dunia Merusak Akhirat ] ويا حَريـصاً على الأموالِ تَجمَعُهـا* * * أُنْسِيـتَ أنَّ سُرورَ المـالِ أحْـزانُ "Wahai yang berambisi menumpuk-numpuk harta, engkau telah lupa, bahwasannya kesenangan harta sejatinya adalah kesedihan" PENJELASAN Ambisi terhadap harta dunia merupakan perkara tercela dan bisa merusak akhirat seorang. Rasulullah ﷺ bersabda, لو أن لابنِ آدمَ واديًا من ذَهَبٍ أَحَبَّ أن يكونَ له واديانِ، ولَنْ يملأَ فَاهُ إلا الترابُ، ويَتُوبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ "Seandainya anak keturunan Adam (manusia) itu memiliki satu lembah emas, niscaya ia ingin punya dua. Padahal (akhir hidupanya) tenggorokannya tidaklah terisi selain tanah. Dan Allah menerima taubat mereka yang bertaubat." HR. Bukhari 6439 Ambisi terhadap harta dunia ada dua keadaan: Pertama: sangat menyukai harta yang diiringi dengan berlebihan dalam mencarinya dan masih dari jalur yang mubah. Hal ini bisa merusak akhirat seorang, karena dengan itu dia akan mencurahkan waktu-waktunya yang berharga untuk mencari harta, dan melalaikan bekal akhiratnya. Semestinya bagi seorang dia menjadikan dunia sebagai perantara menuju akhirat. Sebagian salaf mengatakan, "Jadikan dunia di tanganmu, jangan kamu masukkan ke dalam hatimu". Karena kalau cinta harta dunia sudah masuk ke dalam hati, niscaya itu yang akan menjadi prioritas hidupnya, sehingga menjadi sibuk mengejar harta dunia dan melupakan akhirat. Namun, begitulah keadaan kebanyakan orang. Mereka memandang dengan sebelah mata. Dunia yang akan mereka tinggalkan, mereka terus mengejarnya. Sementara untuk perkara akhirat yang kekal abadi, mereka lalaikan. Kedua: ambisi yang mendorong seorang untuk mencari harta dunia dengan segala cara; tanpa perduli halal dan haram. Di samping itu, dia juga menghalangi hak wajib hartanya. Tentulah hal ini akan melunturkan agama dan keimanan seorang. Sebagian salaf mengatakan, "Kebakhilan adalah ambisi yang sangat yang mendorong seorang untuk mengambil segala sesuatu meski dengan cara yang tidak halal, dan menghalangi hak-hak harta". Setiap kesenangan harta dunia yang tidak digunakan dalam ketaatan kepada Allah, maka akan berbalik menjadi siksa di akhirat nanti. Pun demikian harta dunia itu akan lenyap. Hampir-hampir tidak didapati orang yang kaya di dunia ini merasa tenang hatinya. Ia akan selalu berpikir apa yang akan aku gunakan dengan harta ini? Ke mana aku belanjakan? Bagaimana kalau habis? Karenanya, hal itu menjadikan kesenangannya berubah menjadi kesedihan. Mencari harta dunia tidaklah tercela secara muthlak. Namun, yang tercela manakala dia menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya hingga melalaikan Allah, dan bekal akhirat. Allah Ta'ala berfirman, فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ "Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung". Qs. Al-Jumu'ah: 10 Sungguh berbeda keadaan orang yang mementingkan akhirat dengan orang yang mementingkan dunia. Orang yang mementingkan akhirat, dia tidur dan terbangun dengan tenang diiringi dengan berdzikir kepada Allah. Tentram hati dan jiwanya. Ia pasrahkan kepada Allah dengan tawakkal, tanpa mencemaskan dunia. Sedangkan orang yang mementingkan dunia, diliputi kegelisahan saat hendak tidur. Tidak tenang. Tatkala bangun, dibayang kecemasan, ini-itu. Dan hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan. ---------------- [04 Dunia Itu Keruh] Berkata Al-Imam Abul Fath Al-Busty rahimahullah; زَعِ الفـؤادَ عـنِ الدُّنيـا وزينتهـا * * * فصَفْوُها كَدَرٌ والوَصـلُ هِجْـرانُ "Palingkanlah hati dari dunia dan perhiasannya, karena jernihnya itu keruh, dan menyambungnya sejatinya terputus" 📚Unwanul Hikam, bait 5. PENJELASAN Dunia ( الدنيا ) terambil dari kata ( الدني ) yang artinya rendah. Dinamakan demikian karena memang dunia itu rendah. Kamu tidaklah menjumpai dunia disebut di dalam Al-Qur'an dan hadits melainkan disebut dengan kerendahan. Dunia itu fana, kesenangan memperdaya, dunia itu terlaknat dan semisal itu. Allah Ta'ala berfirman, وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” QS. Ali Imran 185 Allah ta'ala juga berfirman; وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”. QS. Al An’am:32. وَفَرِحُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مَتَاعٌ "Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” QS. Ar Ra’d: 26 Nabi ﷺ bersabda: أَلَا إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلا ذكرُ الله وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ “Ketahuilah sesungguhnya dunia itu terlaknat, terlaknat apa saja yang ada didalamnya kecuali dzikir kepada Allah, amalan yang mendekatkan kepada Allah, orang yang berilmu atau orang yang belajar ilmu” [HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah dihasankan oleh Al-Albani dalam Misykah al-Mashabih 3/1431] Imam Ibnu Rajab dalam Jami'ul Ulum Wal Hikam menerangkan, “Dunia itu dan apa saja yang ada di dalamnya terlaknat. Yang dimaksud terlaknat adalah dunia itu menjauhkan dari Allah karena dunia menyibukkan (manusia) dari (ingat kepada) Allah Ta’ala kecuali; Ilmu yang bermanfaat yang menuntun kepada Allah dan mengenal-Nya serta ilmu yang mendekatkan kepada-Nya dan mendapatkan ridha-Nya. Dan dzikir kepada Allah dan setiap amalan yang mendekatkan diri kepada Allah". Demikian hakikat dunia. Jernihnya adalah keruh. Kesenangannya menipu. Hanya sementara kemudian lenyap. Allah Ta'ala berfirman; مَا عِندَكُمْ يَنفَدُ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ بَاقٍ "Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal". Qs. An-Nahl: 96 Dunia akan sirna. Maka kerugian akan didapat bagi siapa yang mencurahkan hidupnya hanya untuk dunia. Ia akan terhalang dari bagiannya di akhirat. Inilah makna ucapan Abul Fath Al-Busty, "menyambungnya sejatinya l terputus". Yakni; terputus dari Allah dan negeri akhirat. Allah ta'ala berfirman; مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَٰلَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُو۟لَٰئِكَ ٱلَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا۟ فِيهَا وَبَٰطِلٌ مَّا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ "Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan" Qs. Hud: 15-16. Allah Ta'ala juga berfirman; فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ "Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat." Qs. Al-Baqarah: 200 Inilah hakikat dunia. Maka sepatutnya seorang yang beriman tidak terperdaya dengannya. Para salaf terdahulu menasihatkan, "Jadikan dunia di tanganmu, dan jangan kamu masukkan ke dalam hatimu". Sumber : https://t.me/RaudhatulAnwar1

BIMBINGAN UNTUK MENUJU KEBAHAGIAAN  .Oleh Al-Ustadz Abdulmu’thi Sutarman, Lc حفظه الله Suatu hal yang tiada keraguan padanya bagi orang yang memiliki akal sehat, bahwa umat mana saja tentu sangat membutuhkan orang yang membimbing dan menunjukkan kepada jalan yang lurus. Umat I…

UDARA PANAS DAN PELAJARAN YANG BISA DIAMBIL Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim Al-Qar'awy dalam salah satu khutbahnya menyampaikan. Ekstrimnya udara panas atau dingin di kehidupan dunia ini termasuk dari tanda-tanda keukasaan Allah (ayat kauniyah) yang dengannya Allah memberi rasa takut kepada p…

TIDAK MEREMEHKAN KAUM LEMAH Oleh: Al-Ustadz Abdulmu'thi Sutarman, Lc hafizhahullah Allah dengan hikmah-Nya telah menciptakan manusia berbeda-beda status sosialnya. Ada yang menjadi pemimpin dan ada yang dipimpin. Ada yang ditakdirkan kaya dan ada pula yang miskin. Bahkan ada yang menjadi buda…